Jumat, 06 Januari 2012

Prestasi Umat Kristen di Indonesia


“Kekhawatiran” demikian gambaran yang paling tepat yang dirasakan oleh dunia Kristen hari ini. Hal ini berlaku di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Bagaimana tidak, misi pekabaran Injil yang dilakukan secara ekspansif dan cenderung agresif, tidak membuahkan hasil yang sepadan dengan pengorbanan yang dilakukan. Bantuan dana dari berbagai sumber termasuk donasi luar negeri tidak terlampau mampu mendongkrak jumlah penganutnya secara signifikan. Bahkan secara statistik jumlah penganut Kristen justru semakin menurun dari tahun ke tahun. Anehnya penurunan kuantitas tersebut terjadi pada daerah-daerah “kantong” Kristen.



Di Kalimantan, menurut data CITRAS (Center for Indonesia Transform Studies), pada tahun 2001 penganut Katholik ada 21, 85 %, tetapi pada tahun 2005 turun menjadi 21, 73 %. Sementara Kristen Protestan menunjukkan statistik 18,95 % pada 2001, sedangkan pada 2005 mengalami kenaikan berkisar 19,47 %. Di Maluku, Katholik pada 2001 ada 8,8% dan tahun 2005 terdapat 8,3%. Sedangkan Kristen di Maluku pada 2001 ada 46,22 % dan pada 2005 turun menjadi 42,69%. Di Sulawesi Utara Katholik pada 2001 adalah 6,21% dan mengalami kenaikan 11, 81% pada 2005. Tetapi statistic penduduk Protestan di daerah tersebut mengalami penurunan dimana pada 2001 terdapat prosentase 64,55% dan menurun menjadi 52,25% pada 2005. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur dimana terdapat jumlah penduduk Kristen terbanyak dari semua propinsi juga mengalami penurunan. Pada 2001 Katolik memiliki prosentase 54,78% sedangkan pada 2005 menjadi 51, 29%. Sedangkan Protestan pada 2001 ada 33,94 % dan tahun 2005 menurun menjadi 32,14%. Sementara itu untuk daerah Papua gambaran tentang penurunan kuantitas pula. Katholik pada 1999 mencapai angka 24,81%, tahun 2001 ada 24,74%, dan pada 2005 terdapat angka 21, 8%. Sedangkan Protestan pada ada peningkatan jumlah. Pada 2001 ada 54,76% dan 2005 terdapat 61,56%. Daerah Papua Barat jumlah muslim pada 2005 mencapai 213.311 jiwa, Katholik 39.716 jiwa, dan Protestan 311.610 jiwa. Meskipun di sejumlah daerah terdapat peningkatan kuantitas, namun CITRAS memaparkan bahwa tren secara umum jumlah penduduk Kristen tersebut menunjukkan adanya dari tahun ke tahun, bukan hanya dari segi prosentase tetapi juga jumlah.

Menanggapi fenomena tersebut, sejumlah intelektual Kristen memberikan tanggapan beragam. Pastor Dr. Neles Tebay, Rektor Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Paulus, Papua, mengungkapkan bahwa penurunan jumlah Kristiani tersebut dipicu dengan adanya campur tangan pemerintah berupa program transmigrasi pada tahun 1960-an. Pada era tersebut banyak penganut Islam yang datang ke Papua sehingga saat ini Islam menduduki urutan kedua. Dr. Henry P. Panggabean,SH, Ms mengungkapakan pendapat yang senada bahwa negara dianggap terlalu condong kepada agama tertentu. Padahal, menurutnya, negara mestinya tidak mengistimewakan warga negaranya berdasarkan differensiasi agama. Hal ini dianggapnya sebagai pelanggaran konstitusi UUD 1945. Dr. Henry menambahkan bahwa faktor internal dalam Kristen juga turut berpengaruh dalam proses penurunan kuantitas tersebut. Di antaranya adalah munculnya gerakan Kristen Liberal di kalangan Kristen sendiri. Pendapat lainnya kebanyakan cenderung menempatkan pihak eksternal (pemerintah dan umat Islam) sebagai kambing hitam. Diungkapkan bahwa terdapat suatu upaya sistemik untuk menyingkirkan Kristen dari daerah-daerah basisnya oleh pihak-pihak eksternal tersebut.
Pernyataan-pernyataan terakhir ini perlu dikaji ulang. Faktanya, selama ini pihak yang paling agresif menyebarkan agama kepada penganut agama lain justru berasal dari kalangan Kristen. Tidak sedikit lembaga atau yayasan pendidikan Kristen yang penuh percaya diri melantangkan bahwa visi misi kelembagaannya terkait langsung dengan proses kristenisasi penduduk muslim. Namun demikian upaya ekspansif penyebaran agama tersebut rupanya tidak diimbangi dengan pematangan basis-basis teologi Kristen itu sendiri. Dunia Kristen hari ini seperti telah kehilangan identitas sehingga hanya mengandalkan slogan-slogan “perdamaian”, “cinta kasih”, dan sebagainya. Penganut Kristen lebih banyak diarahkan untuk memiliki pengalaman bersama “Yesus sebagai juru selamat” dibandingkan memahami hakikat “Yesus” itu sendiri. Jadi, agama bisa dinilai dan dipraktikkan sebagai resultan dari “pengalaman religious” bukannya hasil dari pemahaman pribadi yang bersifat totalitas dan final terhadap entitas ajaran agama.

Di sisi lain, dunia Kristen di Indonesia justru mengalami berbagai goncangan dari dalam. Persoalannya yang kemudian muncul, tidak bisa dianggap main-main karena menyangkut basic teologi paling mendasar bagi sebuah agama yaitu problem ketuhanan. Salah satu contohnya, adalah kemunculan kelompok Beth Yesua Hamashiah (BYH) dalam diskursus pemikiran Kristen. Kelompok ini mempersoalkan penggunakan nama “Allah” sebagai asma tuhan yang dinilai tidak Alkitabiah.

Kelompok BYH mengungkapkan bahwa nama Tuhan yang sebenarnya adalah YAHWEH bukan Allah. Penggunaan nama “Allah” sebagai “oposisi” YAHWEH adalah sebuah kesalahan sejarah yang mesti diperbaiki. Menurut kelompok ini kata Yahwe berasal dari huruf tetragramaton YHWH. YHWH sendiri merupakan nama diri (proper name). Gerakan ini bahkan telah melakukan penerbitan Bibel sendiri yang agak berbeda dengan versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), terutama dalam penggunaan nama tuhan. Tentu saja kalangan konservatif menolak keberadaan gerakan BYH tersebut. Termasuk karya-karya yang telah dihasilkan oleh BYH, telah banyak dikritik oleh sejumlah tokoh konservatif tersebut. Sebut saja diantaranya adalah Bambang Noorsena, tokoh Kristen Ortodoks Syria. Perdebatan-perdebatan dalam tubuh Kristen pada akhirnya sulit ditutupi dan masyarakat kelas bawah tak ayal menjadi bingung. Kebingungan inilah yang memunculkan sikap skeptic dalam tubuh Kristen.

Belum lagi aliran informasi dari dunia luar semakin kentara hari ini. Masyarakat Indonesia juga semakin cerdas dan mudah mengakses informasi tersebut. Berita-berita tentang “pembelotan” sejumlah tokoh Kristen yang melakukan konversi agama semakin mudah menjadi konsumsi masyarakat. Bebarapa waktu yang lalu dunia sempat dikejutkan dengan masuk Islamnya sekitar 30 orang tokoh yang dekat dengan kepausan. Bahkan Ketua Dewan Gereja Amerika Serikat yang juga merangkap sebagai doctor of Psychology di Universitas Denver , Jerald F. Dirks, diketahui akhir-akhir ini telah menunjukkan keislamannya. Fenomena-fenomena keberislaman tokoh-tokoh intelek Kristen tersebut tak urung berhasil ditangkap oleh masyarakat Indonesia.

Apakah masyarakat Barat yang dianggap sangat “intelektual” telah kehabisan akal sehat dengan berpindah kepada Islam?

Upaya mempersulit pendirian rumah ibadah yang selama ini selalu ditonjolkan sebagai isu utama konflik antar agama juga mesti direvisi. Fakta yang ada, pertumbuhan jumlah pendirian gereja baik Kristen maupun Katholik jauh meningkat pesat dibandingkan pertumbuhan dan pembangunan masjid. Gereja Katholik pada tahun 1977 adalah 4.934 dan pada 2004 menjadi 12.473 (kenaikan sebesar 153 %). Sedangkan statistic Gereja Protestan menunjukkan perkembangan dari 18.977 pada 1977 menjadi 43.909 pada tahun 2004 (kenaikan sebesar 131 %). Sementara itu rumah ibadah umat Islam, masjid hanya mengalami kenaikan jumlah sebesar 64 % yaitu 392.044 pada 1977 menjadi 643.834 pada 2004. Menurut data yang lain jumlah gereja dibandingkan dengan penduduk Kristen memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan jumlah masjid dibandingkan dengan kuantitas umat Islam.

Meskipun demikian secara kasat mata dapat dilihat bahwa umat Islam mengalami pertumbuhan. Meskipun tidak terlalu signifikan namun hal ini menunjukkan bahwa Islam semakin dikenal oleh masyarakat dan diikuti dengan fenomena penurunan kuantitas pemeluk agama lain.

Kristen di Indonesia mungkin saja akan mengikuti jejak saudaranya di Eropa. Masyarakat dunia mungkin masih ingat dengan ungkapan Prof. Dr. Jan Romein, Guru Besar Universitas Amsterdam, tentang era Eropa pada tahun1956, dia menyatakan bahwa Barat pada hakikatnya adalah Kristen, tetapi hari ini Kristen sudah tidak mampu mengendalikan Eropa maka oleh karena itulah Kristen harus segera dikonstruk ulang. Jika Eropa saja telah merasa kurang nyaman dengan hal tersebut, bagaimana pula dengan bangsa lain yang pernah dijajahnya?

Susiyanto
(Peneliti Misiologi dan Javanologi; Pegiat Pusat Studi Peradaban Islam Surakarta)
Sumber : http://baitul-maqdis.com/2011/prestasi-umat-kristen-di-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar